Senin, 21 Maret 2011

Sejarah Politik Timor Leste

"Historia Vitae Magistra"cicere filsuf Romawi




sejarah selalu menyertai setiap hidup suatu bangsa,mulai dari masa lalu,masa kini dan masa yang akan datang selalu membawa perubahan..inilah tinjauan sejarah politik timor leste mulai dari kolonialisme, invasi dan kemerdekaan.semoga bermanfaat dalam meluruskan pandangan orang tentang timor leste.
                                                  
                                                   Sejarah Politik Timor Leste
 
Kolonialisme Portugal di Timor-Leste
Pedagang dan misionaris Portugis tiba di Timor dengan kapal sekitar tahun 1500-an.
Portugal memusatkan kontrolnya di bagian timur Timor pada 1800an. Sejumlah pemberontakan muncul di Timor. Dom Boaventura, liurai (kepala suku) Manufahi, memimpin gerakan terbesar dan yang terakhir. Namun ia dikalahkan oleh Portugis pada 1912.
Portugal menarik diri dari Timor ketika Perang Dunia II meletus. Banyak warga Timor tewas dalam pertempuran antara pasukan Jepang dan Australia.
Australia memiliki konsulat di Dili hingga 1971. Timor-Leste memiliki kebebasan yang sangat terbatas karena Portugal dipimpin oleh seorang diktator.
Revolusi di Portugal dan Iklim Internasional
Pada 1960-an, gerakan kemerdekaan di Afrika memulai perjuangan bersenjata melawan diktator Portugis, Antonio Salazar. Penggantinya, Marcello Caetano, gagal mengakhiri konflik. Pada 25 April 1974, sebuah gerakan bersenjata melancarkan kudeta di Portugal – Revolusi Bunga.

Perubahan di Portugal yang mengarah ke dekolonisasi dan demokratisasi menguntungkan Timor Leste. Akan tetapi, pada waktu yang sama, paham komunisme menjalar ke Asia Tenggara. Masuknya komunisme membuat Indonesia dan Barat grogi dan merumitkan situasi di Timor-Leste.
Proses dekolonialisasi dan partai-partai politik .
Menyusul Revolusi Bunga, partai-partai politik diizinkan dibentuk di Timor untuk pertama kalinya.
Partai-partai politik tersebut memiliki sikap berbeda-beda dalam melihat masa depan Timor. UDT memilih proses kemerdekaan bertahap yang berhubungan dengan Portugal . ASDT, yang kemudian berganti nama menjadi FRETILIN, memilih untuk merdeka secepatnya dan sepenuhnya. APODETI memilih untuk berintegrasi dengan Indonesia. TRABILHISTA dan KOTA juga dibentuk pada saat itu
Dua partai utama, UDT dan FRETILIN, mempunyai tujuan merdeka yang sama, namun keduanya tidak dapat bekerja sama. Koalisi keduanya bubar pada bulan Mei 1975.
Keterlibatan Indonesia
Rezim Soeharto menentang kemerdekaan Timor Portugis. Ia menilai Timor terlalu terbelakang untuk bisa independen, lagi pula Timor adalah bagian dari Indonesia, dan bahwa negara komunis akan menggunakan Timor untuk mengganggu stabilitas Indonesia.
Mulai 1974, Indonesia menggunakan pengaruh politik, propaganda, manipulasi, dan ancaman untuk mencegah kemerdekaan Timor.
Operasi Komodo dibentuk dan tentara macam Kolonel Dading Kalbuadi direkrut. Ia sebelumnya bertugas untuk mengamankan pilihan pro-integrasi dalam “jajak pendapat” di Irian Barat (Papua). Pemerintah Indonesia juga menggunakan posisi strategisnya untuk memenangkan dukungan internasional, termasuk dari petinggi-petinggi Menlu Amerika Serikat Henry Kissinger dan PM Australia Gough Whitlam.
Gerakan 11 Agustus UDT dan perang saudara
Dipimpin oleh Joao Carrascalao, UDT meluncurkan aksi bersenjata di Dili pada tanggal 11 Agustus 1975. Salah satu tuntutan gerakan ini adalah agar pemerintahan Portugis menyingkirkan sejumlah kelompok sayap kiri dari Timor-Leste.
Sebagai jawaban, Fretilin meluncurkan serangan balik pada 20 Agustus. Portugal mundur ke Atauro. Perang saudara menyebar ke hampir seluruh pelosok Timor dan mengakibatkan ratusan orang tewas beserta sejumlah pelanggaran lain. Di bulan September, UDT dan anggota dari beberapa partai lainnya menyeberang ke Timor Barat dan Fretelin mengambil alih kekuasaan.
Pemerintahan Fretilin
Portugal tidak merespons permintaan Fretilin untuk kembali melanjutkan perannya di Timor. Fretilin yang saat itu dipimpin Francisco Xavier doAmaral mengelola Timor dan, karena campur tangan Indonesia meningkat, mencoba mendapat dukungan internasional.
Pada September 1975, UDT dan sekutunya menandatangani petisi kepada Presiden Soeharto dan menerima dukungan logistik dari Indonesia untuk menyerang Fretilin di dalam Timor-Leste.
Pada 16 Oktober, lima wartawan Australia dibunuh oleh pasukan Indonesia di Balibo. Lemahnya protes dunia internasional membuktikan bahwa Indonesia berhasil meraih dukungan untuk integrasi.
Deklarasi Kemerdekaan dan Deklarasi Balibo
Demi mencegah invasi besar-besaran, Fretilin mendeklarasikan kemerdekaan pada 28 November 1975 dan membentuk sebuah pemerintahan.
Sebagai tanggapan, para anggota dari empat partai politik lain di Timor Leste mendeklarasikan integrasi Timor-Leste ke dalam Indonesia dengan menandatangani ‘Deklarasi Balibo’ pada 29 November.
Portugal dan komunitas internasional tidak mengakui kedua deklarasi tersebut.
Invasi besar-besaran
Indonesia meluncurkan invasi besar-besaran ke Timor pada 7 Desember 1975. Banyak sekali kekejaman terjadi.
Sebagian dari komunitas internasional mengetahui rencana Indonesia untuk meluncurkan invasi namun tidak melakukan apapun untuk mencegahnya. Pada 2 Desember, Australia menyarankan warga negaranya untuk meninggalkan Timor. Pada tanggal 6 Desember, Presiden AS Ford dan Menlu Henry Kissinger bertemu dengan Presiden Soeharto dan menyetujui invasi. AS juga membolehkan penggunaan senjata AS oleh ABRI.
Indonesia mengklaim bahwa pasukanya terdiri dari para relawan. Namun Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum mengutuk invasi tersebut, dan mendukung kebebasan rakyat Timor unuk menentukan nasibnya sendiri, serta menuntut Indonesia untuk menarik pasukannya.
Awal Pendudukan
Indonesia membentuk pemerintahan daerah pada 17 Desember 1975 dan mengirim wakil Timor ke PBB untuk membela Indonesia . Pada saat yang sama, Jose Ramos Horta diterima oleh PBB sebagai juru bicara Fretilin.
Sejumlah masyarakat sipil melarikan diri dari rumah mereka dan tinggal di wilayah-wilayah yang dikontrol Fretilin. Pada Mei 1976, Fretilin mengadakan konferensi nasional untuk mengkaji ulang strategi partai dan membangun zona-zona bebas. Tahanan-tahanan UDT dan Apodeti dieksekusi oleh anggota Fretilin di awal pendudukan.
Pada 31 Mei 1976 Indonesia membentuk Majelis Perwakilan Populer di Dili yang mempetisikan Indonesia untuk mengintegrasi Timor-Leste. PBB tidak mengakui proses ini sebagai proses penentuan nasib sendiri yang murni
Pengepungan dan penghancuran
Indonesia meningkatkan intensitas perangnya. Gangguan-gangguan yang secara terus menerus dialami oleh rakyat sipil dan penghancuran sumber makanan mengakibatkan kelaparan dan kematian. Baik lembaga-lembaga bantuan independen maupun institusi media tidak perkenankan masuk ke kawasan Timor.
Perpecahan dan konflik terjadi dalam tubuh Fretilin saat terjadinya perang. Presiden Xavier do Amaral diganti dan penyalah-gunaan terjadi.
ABRI mengepung Fretilin ke wilayah-wilayah yang semakin sempit dan meluncurkan Operasi Skylight. Operasi ini mencakup pemboman terhadap para gerilya dan masyarakat sipil yang berlindung di sekitar Gunung Matebian.
Presiden Fretilin Nicolau Lobato tewas dibunuh dalam peperangan pada 31 Desember 1978.
Menyerah, pemindahan warga, dan kelaparan
Timor-Leste mengalami krisis kemanusian yang luar biasa sepanjang 1977-1979, akibatnya puluhan ribu warga meninggal dunia. Sejumlah besar warga menyerah dan ditahan dalam kamp-kamp transit dan dipindahkan, seringkali tanpa dibekali ataupun diberi akses pada makanan dan keperluan lainnya.
Setelah penantian panjang, Palang Merah Internasional (ICRC) dan Catholic Relief Services diperbolehkan memberi bantuan sejak akhir 1979.
Operasi Keamanan
Bulan Maret 1979, Indonesia menyatakan bahwa Timor telah ditentramkan. Indonesia kemudian memfokuskan dirinya dengan mengkonsolidasikan cengkeramannya dan mengeleminir sisa-sisa gerakan Resistencia. Pada Juni 1980, Resistencia menyerang ibu kota . ABRI membalas dengan keras dan menahan sejumlah warga sipil di pulau Atauro.
Pada 1981, ABRI menggunakan warga sipil dalam Operasi Kikis untuk mencoba mengepung para gerilyawan yang tersisa.
Banyak pemimpin rakyat yang terbunuh, ditangkap atau menyerah, namun gerakan Resistencia tetap bertahan
Membangun kembali Resistencia
Pada Maret 1981, Xanana Gusmao mengadakan Konferensi Reorganisasi Nasional untuk membangun ulang gerakan Resistencia dengan basis kesatuan nasional.
Gereja Katolik memainkan peranan penting. Sebagian besar rakyat Timor bergabung dengan Gereja. Gereja menggunakan hubungannya dengan dunia luar untuk melawan klaim Indonesia bahwa situasi di Timor normal saja.
Gencatan senjata dan akibatnya
Pada 1982, untuk pertama kalinya rakyat Timor-Leste memberikan suara dalam pemilu Indonesia. Mario Carrascalao diangkat sebagai Gubernur. Indonesia membalas dengan kasar pemberontakan Resistencia di Mauxiga.
Pada 1983, Kolonel Purwanto berdialog dekat Venilale dengan Xanana Gusmao dan hasilnya adalah gencatan senjata. Pemimpin Fretilin diluar Timor menggunakan foto-foto pertemuan itu untuk kembali membina solidaritas internasional.
Jenderal Moerdani diangkat menjadi Panglima ABRI. Gencatan senjata berakhir saat permusuhan berlanjut di Kraras pada Agustus 1983.
Dom Martinho da Costa Lopes didesak mundur dari jabatan Ketua Gereja Katolik dan keluar dari Timor.
Konsolidasi dan awal dari perubahan
Indonesia memulai program “normalisasi”. Operasi militer dikurangi dan program-program baru diperkenalkan, misalnya pendidikan dan transmigrasi.
The National Council of Maubere Resistance (CNRM) menjadi badan tertinggi dari gerakan perlawanan yang dipimpin Xanana Gusmao. Falintil dipisahkan dari Fretilin. Aktivisme pemuda-pemudi berkembang di Dili.
Dom Carlos Felipe Belo ditunjuk sebagai Kepala Gereja Katolik. Pada Februari 1989, ia menulis kepada PBB agar rakyat Timor diberi kesempatan untuk menentukan nasib sendiri.
Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Timor leste pada akhir 1989. Para pemuda dan pemudi Timor mengadakan aksi demonstrasi di akhir misa Paus di Taci Tolu.
Robert Domm, seorang aktivis dari Australia, berhasil mewawancarai Xanana Gusmao di pegunungan Timor.
Warga Timor yang berada di luar Timor leste melobi Komite Dekolonisasi PBB serta Komisi HAM. Runtuhnya Tembok Berlin di bulan November 1989 menunjukkan rakyat Timor bahwa tidak ada yang tidak bisa diubah.
Titik-titik balik
Banyak pemuda-pemudi Timor tewas di Pemakaman Santa Cruz pada 1991. Pembantaian tersebut direkam dengan film oleh media asing dan menggemparkan dunia.
Xanana Gusmao ditangkap pada November 1992. Ia terus memimpin gerakan Resistencia dari LP Cipinang di Jakarta.
Solidaritas berkembang di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Pada Oktober 1996, Uskup Belo dan Jose Ramos Horta dinobatkan sebagai pemenang Nobel Perdamaian.
Kofi Annan menjadi Sekjen PBB pada 1997 dan PBB menjadi lebih aktif dalam menangani kasus Timor.
Reformasi dan Pengumuman Referendum
Krisis Moneter Asia menimpa Indonesia di akhir tahun 1997 dan menimbulkan aksi protes yang menyeluruh dan tuntutan ‘reformasi’. Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Timor Leste menikmati kebebasan yang lebih longgar.
Dewan Nasional Resistencia Rakyat Timor, CNRT, dibentuk dalam sebuah konferensi di Peniche, Portugal.
Di bulan Januari 1999, Presiden Habibie mengumumkan bahwa Indonesia akan memberi kesempatan bagi warga Timor untuk menentukan apakah mereka mendukung atau menolak tawaran otonomi khusus. Pada tanggal 5 Mei, PBB menyetujui bahwa TNI bertanggung jawab untuk menjaga keamanan pada saat Jajak Pendapat.
TNI dan kelompok-kelompok milisi menggangu para pendukung pro-kemerdekaan dan membantai sejumlah warga sipil di Suai dan Liquica. Setidaknya 40.000 warga, terutama di distrik-distrik di bagian barat, kabur dari rumah mereka.
Jajak Pendapat
Pelaksanaan Jajak Pendapat dipercayakan kepada United Nations Mission in East Timor (UNAMET), yang dikepalai oleh Ian Martin. Sampai Juni 1999, UNAMET telah menempatkan staf pemilihan internasional, polisi, dan perwira penghubung militer di ke-13 distrik di Timor Leste.
Fatintil mengembalikan kekuatannya balik ke daerah masing-masing. Lain halnya dengan TNI dan para milisi. Kekerasan terus berlanjut dan usaha-usaha membangun perdamaian gagal.
Sejumlah 451.792 pemilih terdaftar dan 98.6% diantaranya ikut memilih di hari referendum 30 Agustus 1999.
Hasil Referendum diumumkan pada tanggal 4 September. Sejumlah 21.5% memilih otonomi khusus dengan Indonesia ; 78,5 % menolak usulan tersebut.
Indonesia pergi
Kekerasan memuncak setelah hari pemilihan. Kebanyakan warga yang tewas pada 1999 terbunuh setelah referendum. Lebih dari setengah populasi Timor mengungsi dari rumah mereka. Sekitar 250.000 warga menyeberang ke Timor Barat. Sebanyak 70% dari infrastruktur, rumah dan bangunan hancur.
Pada 12 September, Presiden Habibie mengizinkan pasukan perdamaian internasional masuk ke Timor-Leste. Pasukan ini disebut Interfet, dan dikomandani oleh Mayor Jenderal Peter Cosgrove dari Australia.
Pulang
Interfet mengamankan Timor-Leste. Operasi darurat kemanusiaan dimulai dan UNTAET mendirikan pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Sergio Vieira de Mello.
Dengan bantuan UNHCR, IOM, dan organisasi-organisasi lainya, para pengungsi Timor mulai kembali pulang dari Timor Barat dalam bulan-bulan akhir tahun 1999.
Para pemimpin Timor juga pulang. Uskup Belo kembali ke Timor tanggal 5 Oktober; Xanana Gusmao pada 22 Oktober, dan Jose Ramos Horta pada 1 Desember
Sumber: CAVR TL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar